Rabu, Juli 11

PATAMBOR PADANG SIDEMPUAN

Dengan Sumangot Goar ni Ompui Toga Manurung, Tanggal 1 Juli 2012 telah dibentuk PATAMBOR Sidempuan. Kemelut pembentukan Patambor Sidempuan selesai sudah dengan keberanian  Pomparan Ni Toga Manurung Memisahkan diri dari Punguan Raja Nairasaon. Harus kita Akui bahwa Punguan ni Raja Nairasaon tidak begitu relevan lagi, apalagi di suatu daerah seperti Padang Sidempuan kota yang begitu majemuk dan besar, serta  sudah banyak Marga Manurung, Marga Sitorus, Marga Sirait dan Marga Butar-butar. Sudah seharusnya mendirikan  Punguan Masing-masing, mengingat Pomparan ni Raja Nairasaon sudah saling Marhulahula dan Marboru dan Marbere/Ibebere.

Kecamatan Siborongborong yang begitu kecil, Pomparan ni Ompui Raja Nairasaon sudah saling mendirikan Punguan masing-masing, Patambor 42 KK, Sitorus 35 KK, Sirait 16 KK dan Butar-butar 17 KK. Dan saling menghormati dan menghargai, terlebih ada pesta  Pomparan ni Raja Nairasaon begitu kompak. Diharapkan di Kota Padang Sidempuan juga  sudah seharusnya saling mendirikan Punguan masing-masing diantara Pomparan ni Raja Nairasaon.

Kami sangat prihatin mendengar, ada Marga manurung 2 Orang tidak mendukung berdirinya PATAMBOR Padang Sidempuan, seharusnya hal itu jangan berlarut-larut, perlu dicarikan solusi untuk dapat merangkul ke dua orang tersebut. Dan sangat di sayangkan prilaku yang 2 orang itu, apa alasannya tidak mau mendukung berdirinya PATAMBOR Sidempuan. Apalagi kita dengar informasinya bahwa ke dua orang tersebut sudah dituakan pada Marga Manurung, seharusnya beliau-beliau diharapkan bisa menjadi Penasehat. Apakah ketidakmauan beliau-beliau ada muatan Politisnya, mengingat Pemda Sidempuan akan melaksanakan PILKADA ?. Bila memang benar ada muatan politisnya, Kami Doakan agar beliau-beliau kembali ke jalan yang benar, serta mau mendukung PATAMBOR Sidempuan.https://www.facebook.com/patambor.siborongborong

Minggu, Juni 10

Hari ini Kami dihubungi oleh lae Hutasoit/Br.Manurung dari sidalu-dalu pekanbaru, Kami sangat bahagia karena keluarga Lae Hutasoit ada dalam keadaan sehat-sehat. Walaupun Lae itu baru kecelakaan, namun berkat Tuhan Lae Hutasoit sudah semakin sehat. Kami menghimbau agar keluarga besar Patambor seluruh dunia turut mendoakan  agar Lae itu pulih seperti sedia kala.

Asa dohonon ma songon ni dok ni Umpasa:

" Asa ni Tahuma aek ni sumur laho parsoburan ni gajah,
Asa si Ganjang umur ma Lae ni ba, tontong di Pasu-pasu Debata Raja ".

" Asa Tio ma Aek dipinggan, Suksuk aek dipanuhatan,
Tio ma dapoton ni lae Pansamotan, Suksukan ma nang Pasu-pasu ni Tuhan"

Emma tutu .... !
Simonangmonang ma.

Senin, Maret 19

PATAMBORBE SIBORONGBORONG SEMAKIN LESUH ALIAS LOYO

Sudah tiga bulan ini partangiangan PATAMBORBE Siborongborong sunyi senyap, yang hadir tidak pernah lebih dari 20 Orang dari jumlah anggota sebanyak 43 KK. Kami heran kenapa bisa begitu, apakah ini Gejala Organisasi ini tidak akan eksis lagi ?. Sangat disayangkan Organisasi Patambor Siborongborong yang di bentuk tahun 1992 ini akan bubar karena tidak ada yang peduli terlebih-lebih marga manurung ( Hula-hula ).

Partangiangan tanggal 18 Maret 2012 yang diadakan dirumah T.Nababan/Br.butar-butar sungguh memprihatinkan pihak Hula-hula tidak ada yang datang selain Penasehat dan Paniaran. Sudah  beberapa kali di SMS bahkan di hubungi  tidak satupun yang Peduli.

Ketua, Wakil Ketua serta pengurus lain tidak ada yang datang. Ada apa gerangan yang terjadi sama dongan tubu ini, kalaupun punya kesibukan, apakah semuanya sibuk ?. atau barangkali sibuk di Kedai Tuak atau sibuk dengan kegiatan yang tidak berguna ?

Mari kita renungkan bersama, atau bila perlu kita bubarkan saja punguan ini.

Sabtu, November 5

Berapa Orangkah Mengatakan Kita Orang Baik ?

Banyak orang mengatakan bahwa si A itu baik bahkan Sangat baik ! tapi kriteria orang baik itu seperti apa ? ukuran baik atau sangat baik sangatlah relatif tergantung orang yang menilai dan perilaku yang dinilai terhadap penilai. Adakalanya yang dikatakan orang baik itu adalah manusia yang dinilai dari perbuatan maupun perilakunya terhadap lingkungannya sendiri. Sementara orang itu adalah orang yang sangat jahat bahkan perilakunya tidak bisa di contoh di lingkungan lain.

Sebut saja seorang tokoh dalam organisasi kecil akan disebut seorang yang baik hati, bahkan sangat baik. Namun apabila kita lihat tokoh tadi kurang baik di luar lingkungan organisasi tadi.
Bahkan orang menilai sangat berbeda-beda. Namun alangkah baiknya apabila kita beradaptasi dengan lingkungan yang lain, alangkah baiknya kalau kita selalu membuat yang terbaik, berperilaku baik, berinteraksi dgn baik.


Selasa, Oktober 4

MODISTA TAILOR


Pagi ini tepat tanggal 4 oktober 2011, pengusaha modistha taylor Amani Horas Manurung, mengatakan bahwa populasi penjahit di Kec. Porsea sangat menjamur. Hal itu bisa dilihat dari banyak penjahit di sudut Kota Porsea. Mungkin ada sekitar 100 penjahit di Kota Porsea, pada hal kota ini tidak lebih dari sebesar telapak tangan. Kalau saya katakan bahwa porsea sudah bisa kita sebutkan sebagai kota konveksi terbesar di Sumatera Utara, lanjut Amani Horas Manurung.
Kec. Porsea Kab Toba Samosir memang sangat strategis sebagai kota konveksi, mengingat kota ini berada dipinggiran danau toba, persis di jalan trans sumatera. Selain itu di kec.porsea juga telah ada pabrik skala internasional seperti PT.UII dan PT. Inalum serta telah dibangunnya pembangkit listrik Asahan 2 dan 3. Kami sebagai pengusaha konveksi sangat mendukung perkembangan Kec. Porsea menjadi daerah industri di daerah TOBASA, tambah Amani Horas.


Jumat, September 23

Butet Manurung: Gak Keren Mati Tanpa Dikenang

Lifestyle + / Senin, 5 April 2010 11:18 WIB

Adalah Saur Marlina Manurung, wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972, yang sempat nampang di majalah Time Asia. Siapakah dia, begitu hebatnya bisa masuk dan menjadi tokoh yang dibahas di dunia internasional? Kita mengenalnya sebagai Butet Manurung, sosok wanita hebat yang mau masuk ke pedalaman hutan untuk menjadi guru bagi anak-anak primitif yang sebelumnya tak pernah mengecap bangku pendidikan.

Butet Manurung, menuai prestasi yang luar biasa, sejumlah penghargaan besar berhasil diperolehnya antara lain, Man and Biosfer Award 2001, Woman of the Year bidang pendidikan AnTV 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005 dan Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006, dan Young Global Leader Honorees 2009. Wanita yang aktif mengelola yayasan SOKOLA, yang didirikan tahun 2003 itu memang pantas menyandang semua penghargaan yang diterimanya. Pasalnya, ia adalah wanita pejuang yang memang benar-benar berusaha mewujudkan impiannya dan tulus menjalani profesinya sebagai seorang guru di hutan pedalaman, di tempat di mana orang-orang yang tinggal dipandang sebelah mata dan seringkali dianggap sebagai orang yang bodoh dan tak berpendidikan.

Butet lahir dari keluarga berada yang tak cukup memberikannya kebebasan menjelajah alam. Masa kecilnya bahkan sempat dinikmatinya di Leuven, Belgia. Sisa hidupnya ia jalani di kota besar Jakarta, yang selalu penuh dengan hiruk pikuk dan kemewahan modernisasi kota. Lulus dari sekolah menengah atas, ia kemudian kuliah di UNPAD, Bandung. Dua bidang studi ditempuhnya bersamaan, dan ia menjalani kuliah sambil kerja sambilan mengajar organ dan matematika. Diam-diam dari hasil kerja sambilannya ia menabung, agar setiap bulan ia bisa naik ke gunung, begitulah cita-cita kecil Butet yang sangat cinta akan alam.

Tak seperti gadis kota biasanya, ia adalah seorang pecinta alam yang tangguh dan tidak manja. Puncak Trikora, gua Wikeda di Wamena, gua Maros, Annapuna Range Himalaya, Ujungkulon, Banten, Timor, hingga NTT pernah ia sambangi. Gadis macam apa yang begitu tergila-gila pada alam ini? Gadis ini adalah gadis yang sempat terketuk hatinya saat melihat suku Rimba, di pedalaman rimba Jambi. Suatu saat perjalanan alam membawanya ke sana, dan konon orang Kubu (sebutan untuk suku Rimba) dikenal sebagai suku yang bodoh, miskin dan primitif. Banyak kasus penipuan yang memang terjadi di sana, perampokan hasil alam seringkali terjadi tanpa disadari oleh penduduk. Mereka sering ditipu dan dibodohi oleh orang kota, orang yang mungkin duduk di atas kursi empuk dengan jas dan dasi melekat di tubuhnya. Seketika itu Butet terdiam dan merenung, ia harus melakukan sesuatu! Itulah awal niatannya membuat sekolah alam, dan mengajarkan mereka banyak hal.


Butet tidak mengajar di dalam ruangan ber-AC seperti guru-guru lainnya, dengan meja dan kursi nyaman yang lengkap atau di depan komputer berteknologi tinggi yang siap dihubungkan dengan koneksi internet. Ia hanya duduk di atas batang pohon yang sudah tumbang atau di atas bebatuan hitam legam yang nyaman bak pualam, dengan semilir dan kesegaran dari alam. Tak ada AC di sana, tak ada meja dari kayu, kursi yang nyaman, dan tak ada teknologi internet. Ia mengajar dengan bekal beberapa buku sederhana yang mungkin sudah dibuang dan dikilokan di kota. Sudah mendapat tempat mengajar yang tak nyaman, tak serta merta kebaikan hatinya diterima pula. Butet, pernah sempat merasakan putus asa, karena penolakan yang ditunjukkan suku Rimba kepadanya. Mereka adalah orang-orang primitif yang masih percaya pada adat dan budaya. Sehingga mereka tak mau terbuka pada pendidikan, yang mereka anggap menyalahi adat dan budaya. Bahkan terlebih mereka takut bahwa mereka akan ditipu lagi seperti biasanya.

Ya, itu adalah ujian terberat bagi Butet pada awal ia berusaha mengenalkan pendidikan pada orang Kubu. Namun kemudian Butet sadar, bahwa mungkin caranya terlalu memaksa dan salah. Suku Rimba butuh diyakinkan, bukan dipaksa. Mereka hanya takut dan belum mengerti, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mau. Mereka hanya butuh kepastian bahwa apa yang akan mereka terima itu baik, itu saja. Sejak saat itu Butet mulai belajar dan mengenal kebiasaan Suku Rimba, ia rajin mengamati dan mengikuti keseharian mereka. Ia tinggal bersama mereka, tidur di tempat yang sama, makan apa yang mereka makan, bertelanjang kaki dan merasakan gelinya lumpur serta tanah yang menempel di telapak kaki, mengenakan kemben sederhana yang mungkin membuat tubuh menggigil kedinginan. Butet mencoba memahami dan merasakan bagaimana sih menjadi bagian Suku Rimba itu. Butet sangat kagum pada mereka yang mampu menyusuri sungai dan hutan tanpa tersesat, ia kagum pada anak-anak yang tangkas memanjat pohon tanpa rasa takut akan jatuh, ia kagum pada keramahan alam yang seolah membuai para penduduk dan menjaga mereka dengan baik.

Masuk dalam kehidupan Suku Rimba tentu bukan sesuatu yang mudah baginya. Hidup di alam tentunya tak akan semanja di kota, yang walaupun macet, masih ada tempat tidur dan kasur empuk menanti. Di alam, ia tidur di atas akar, menyusuri rawa atau sungai yang kemudian membuatnya ketakutan akan lintah yang menempel di tubuhnya, ia takut akan harimau yang sewaktu-waktu menerkamnya, juga akan kegelapan dan kesunyian danau yang di malam hari bagaikan sebuah scene film horor. Butet juga takut, namun ia berhasil mengatasi rasa takutnya. Ia tidak menyerah, tapi ia terus berusaha.

Dalam mengajar, Butet tidak tinggal menetap di satu daerah saja, ia berpindah-pindah dari desa satu ke desa lain dengan mengajarkan hal yang sama, mulai dari membaca, menulis, menjelaskan persoalan hukum terutama pembalakan liar agar mereka tak ditipu lagi dan mengajarkan mereka bagaimana cara membela dan mempertahankan tanah serta hasil alam mereka. Jika dulu mereka hanya diam dan hanya bisa melarang para pembalak liar, kini mereka memperingatkan pembalak liar dengan hukum dan sudah tahu harus melapor ke mana jika terjadi tindak kriminal. Mereka bukan orang yang bodoh, mereka benar-benar belajar sungguh-sungguh dan mereka belajar dengan cepat!

Empat tahun lamanya ia menyusuri pedalaman rimba, ia keluar dan kembali ke ibukota dengan senyum dan kebanggaan. Ia pun menjadi inspirasi beberapa relawan yang akhirnya bergabung dalam yayasannya, dan hingga kini ia masih meneruskan perjuangannya. Ia tak pernah lupa bagaimana beruang membuatnya ketakutan, bagaimana mimpi buruk menghantuinya, bagaimana jantungnya berdegup kencang setiap malam karena takut ada hewan buas menyerangnya. Namun ia tak ingin berhenti mewujudkan impiannya, bukan lintah, beruang, harimau atau ular yang akan menghentikan impiannya, bahkan bukan juga kematian. "Gak keren mati tidak ada yang mengenang," kata Butet seperti dicuplik dari waspada.co.id, itulah sepenggal semangat Butet yang patut kita tiru dan jadikan teladan. Sematkan semangat Butet ini di setiap usaha Anda menggapai impian, bukan demi materi atau demi penghargaan semata, namun karya di dalam hidup adalah harta yang paling berharga. (Kpl/ICH)

Support by :


Bookmark and Share

DETAIL VIDEO [0]

Butet Manurung: Gak Keren Mati Tanpa Dikenang

Lifestyle + / Senin, 5 April 2010 11:18 WIB

Adalah Saur Marlina Manurung, wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972, yang sempat nampang di majalah Time Asia. Siapakah dia, begitu hebatnya bisa masuk dan menjadi tokoh yang dibahas di dunia internasional? Kita mengenalnya sebagai Butet Manurung, sosok wanita hebat yang mau masuk ke pedalaman hutan untuk menjadi guru bagi anak-anak primitif yang sebelumnya tak pernah mengecap bangku pendidikan.

Butet Manurung, menuai prestasi yang luar biasa, sejumlah penghargaan besar berhasil diperolehnya antara lain, Man and Biosfer Award 2001, Woman of the Year bidang pendidikan AnTV 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005 dan Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006, dan Young Global Leader Honorees 2009. Wanita yang aktif mengelola yayasan SOKOLA, yang didirikan tahun 2003 itu memang pantas menyandang semua penghargaan yang diterimanya. Pasalnya, ia adalah wanita pejuang yang memang benar-benar berusaha mewujudkan impiannya dan tulus menjalani profesinya sebagai seorang guru di hutan pedalaman, di tempat di mana orang-orang yang tinggal dipandang sebelah mata dan seringkali dianggap sebagai orang yang bodoh dan tak berpendidikan.

Butet lahir dari keluarga berada yang tak cukup memberikannya kebebasan menjelajah alam. Masa kecilnya bahkan sempat dinikmatinya di Leuven, Belgia. Sisa hidupnya ia jalani di kota besar Jakarta, yang selalu penuh dengan hiruk pikuk dan kemewahan modernisasi kota. Lulus dari sekolah menengah atas, ia kemudian kuliah di UNPAD, Bandung. Dua bidang studi ditempuhnya bersamaan, dan ia menjalani kuliah sambil kerja sambilan mengajar organ dan matematika. Diam-diam dari hasil kerja sambilannya ia menabung, agar setiap bulan ia bisa naik ke gunung, begitulah cita-cita kecil Butet yang sangat cinta akan alam.

Tak seperti gadis kota biasanya, ia adalah seorang pecinta alam yang tangguh dan tidak manja. Puncak Trikora, gua Wikeda di Wamena, gua Maros, Annapuna Range Himalaya, Ujungkulon, Banten, Timor, hingga NTT pernah ia sambangi. Gadis macam apa yang begitu tergila-gila pada alam ini? Gadis ini adalah gadis yang sempat terketuk hatinya saat melihat suku Rimba, di pedalaman rimba Jambi. Suatu saat perjalanan alam membawanya ke sana, dan konon orang Kubu (sebutan untuk suku Rimba) dikenal sebagai suku yang bodoh, miskin dan primitif. Banyak kasus penipuan yang memang terjadi di sana, perampokan hasil alam seringkali terjadi tanpa disadari oleh penduduk. Mereka sering ditipu dan dibodohi oleh orang kota, orang yang mungkin duduk di atas kursi empuk dengan jas dan dasi melekat di tubuhnya. Seketika itu Butet terdiam dan merenung, ia harus melakukan sesuatu! Itulah awal niatannya membuat sekolah alam, dan mengajarkan mereka banyak hal.


Butet tidak mengajar di dalam ruangan ber-AC seperti guru-guru lainnya, dengan meja dan kursi nyaman yang lengkap atau di depan komputer berteknologi tinggi yang siap dihubungkan dengan koneksi internet. Ia hanya duduk di atas batang pohon yang sudah tumbang atau di atas bebatuan hitam legam yang nyaman bak pualam, dengan semilir dan kesegaran dari alam. Tak ada AC di sana, tak ada meja dari kayu, kursi yang nyaman, dan tak ada teknologi internet. Ia mengajar dengan bekal beberapa buku sederhana yang mungkin sudah dibuang dan dikilokan di kota. Sudah mendapat tempat mengajar yang tak nyaman, tak serta merta kebaikan hatinya diterima pula. Butet, pernah sempat merasakan putus asa, karena penolakan yang ditunjukkan suku Rimba kepadanya. Mereka adalah orang-orang primitif yang masih percaya pada adat dan budaya. Sehingga mereka tak mau terbuka pada pendidikan, yang mereka anggap menyalahi adat dan budaya. Bahkan terlebih mereka takut bahwa mereka akan ditipu lagi seperti biasanya.

Ya, itu adalah ujian terberat bagi Butet pada awal ia berusaha mengenalkan pendidikan pada orang Kubu. Namun kemudian Butet sadar, bahwa mungkin caranya terlalu memaksa dan salah. Suku Rimba butuh diyakinkan, bukan dipaksa. Mereka hanya takut dan belum mengerti, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mau. Mereka hanya butuh kepastian bahwa apa yang akan mereka terima itu baik, itu saja. Sejak saat itu Butet mulai belajar dan mengenal kebiasaan Suku Rimba, ia rajin mengamati dan mengikuti keseharian mereka. Ia tinggal bersama mereka, tidur di tempat yang sama, makan apa yang mereka makan, bertelanjang kaki dan merasakan gelinya lumpur serta tanah yang menempel di telapak kaki, mengenakan kemben sederhana yang mungkin membuat tubuh menggigil kedinginan. Butet mencoba memahami dan merasakan bagaimana sih menjadi bagian Suku Rimba itu. Butet sangat kagum pada mereka yang mampu menyusuri sungai dan hutan tanpa tersesat, ia kagum pada anak-anak yang tangkas memanjat pohon tanpa rasa takut akan jatuh, ia kagum pada keramahan alam yang seolah membuai para penduduk dan menjaga mereka dengan baik.

Masuk dalam kehidupan Suku Rimba tentu bukan sesuatu yang mudah baginya. Hidup di alam tentunya tak akan semanja di kota, yang walaupun macet, masih ada tempat tidur dan kasur empuk menanti. Di alam, ia tidur di atas akar, menyusuri rawa atau sungai yang kemudian membuatnya ketakutan akan lintah yang menempel di tubuhnya, ia takut akan harimau yang sewaktu-waktu menerkamnya, juga akan kegelapan dan kesunyian danau yang di malam hari bagaikan sebuah scene film horor. Butet juga takut, namun ia berhasil mengatasi rasa takutnya. Ia tidak menyerah, tapi ia terus berusaha.

Dalam mengajar, Butet tidak tinggal menetap di satu daerah saja, ia berpindah-pindah dari desa satu ke desa lain dengan mengajarkan hal yang sama, mulai dari membaca, menulis, menjelaskan persoalan hukum terutama pembalakan liar agar mereka tak ditipu lagi dan mengajarkan mereka bagaimana cara membela dan mempertahankan tanah serta hasil alam mereka. Jika dulu mereka hanya diam dan hanya bisa melarang para pembalak liar, kini mereka memperingatkan pembalak liar dengan hukum dan sudah tahu harus melapor ke mana jika terjadi tindak kriminal. Mereka bukan orang yang bodoh, mereka benar-benar belajar sungguh-sungguh dan mereka belajar dengan cepat!

Empat tahun lamanya ia menyusuri pedalaman rimba, ia keluar dan kembali ke ibukota dengan senyum dan kebanggaan. Ia pun menjadi inspirasi beberapa relawan yang akhirnya bergabung dalam yayasannya, dan hingga kini ia masih meneruskan perjuangannya. Ia tak pernah lupa bagaimana beruang membuatnya ketakutan, bagaimana mimpi buruk menghantuinya, bagaimana jantungnya berdegup kencang setiap malam karena takut ada hewan buas menyerangnya. Namun ia tak ingin berhenti mewujudkan impiannya, bukan lintah, beruang, harimau atau ular yang akan menghentikan impiannya, bahkan bukan juga kematian. "Gak keren mati tidak ada yang mengenang," kata Butet seperti dicuplik dari waspada.co.id, itulah sepenggal semangat Butet yang patut kita tiru dan jadikan teladan. Sematkan semangat Butet ini di setiap usaha Anda menggapai impian, bukan demi materi atau demi penghargaan semata, namun karya di dalam hidup adalah harta yang paling berharga. (Kpl/ICH)

Support by :


Bookmark and Share

DETAIL VIDEO [0]

Rabu, Agustus 17

KELUARGA HUTASOIT DAN BORU MANURUNG KE SIBORONGBORONG


Tanggal 17 Agustus 2011, keluarga Lae Hutasoit Br Manurung berkunjung ke siborongborong dari Pekanbaru, Khusus untuk nonton Pacuan Kuda. Sehabis nonton berkunjung kerumah untuk silaturahmi.